Renungan Politik Penghujung 2018 | Tanda Tanda Kemenangan Itu Tampak Kian Terang

Renungan Politik penghujung 2018
TANDA-TANDA #KEMENANGAN ITU TAMPAK KIAN TERANG!

Among Kurnia Ebo, seorang pengembara yang peduli politik!

Suka atau tidak suka pesta penghujung tahun menyambut datangnya tahun gres 2019 tetaplah bernuansa Tahun Politik. Karena 17 April itu tidak lama, relatif bersahabat bahkan. Dan ketika itulah bangsa Indonesia akan menentukan presiden barunya.

Saya coba telusur fenomena yang berkembang dari beberapa bulan kemudian hingga simpulan tahun ini. Saya baca fakta dan semiotiknya, baik dari laporan medsos maupun percakapan di warung-warung kopi bersama orang-orang desa. Dan fenomenanya agak mengejutkan memang.
Ada semacam arus balik kesadaran gres yang sedang terjadi di masyarakat kita. Kalau di Pilpres tahun 2014 sambutan masyarakat terhadap pak joko yang dianggap satrio piningit tampak gegap gempita maka fenomena itu tidak terjadi lagi ketika ini.
Banyak kejadian deklarasi tim pemenangan JoMin tidak disambut antusias oleh masyarakat. Sepi di mana-mana. Kalau toh ada yang ramai di satu dua kawasan itu sebab adanya pengerahan massa, adanya mobilisasi yang masif. Bukan sebab kesadaran sendiri.
Sebaliknya kampanye Prabowo Sandi di mana-mana selalu hingar bingar disambut masyarakat. Massa menyambut kehadirannya kolam seorang artis atau selebritis. Tidak ada laporan adanya mobilisasi di situ. Masyarakat tiba berbondong-bondong dengan sendirinya. Tanpa komando, tanpa paksaan, tanpa iming-iming nasi bungkus atau uang transpor. Begitulah faktanya. Setidaknya itu nampak positif hingga fenomena kedatangan Prabowo di Ambon dua hari kemaren.

Pada ketika yang sama fenomena ini tampak semacam ironi juga. Bagaimana bisa, pasangan Prabowo Sandi yang relatif tidak punya pendukung militan, tidak punya basis massa fanatik di pedesaan, dan bukan media darling bagi pers, tapi disambut begitu hangat dan meriah di mana-mana.
Ya, ada semacam anomali di sini. Apakah yang begini ini yang dinamakan satrio piningit itu sesungguhnya? Sebetulnya tidak begitu dikenal bersahabat massa bawah tapi kedatangannya disambut riang gembira.
Faktanya bukan saja fenomena antusiasme yang terbaca. Bukan sekedar masyarakat berbondong-bondong menunggu kedatangan pasangan nomor 02 ini. Tapi sebagian dari mereka tiba sekaligus dengan membawa uang yang mereka miliki. Mereka serahkan pribadi uang itu sambil menyertainya dengan doa bahkan titikan air mata. Peristiwa mirip hampir belum pernah jadi fenomena pada Pilpres Pilpres sebelumnya.
Kalau dilihat nominal angkanya mungkin tidak besar, bukan ratusan juta apalagi hingga jumlah milyaran. Tidak ada. Tapi, semiotikanya yaitu sumbangan yang diberikan itu seberapa pun kecilnya yaitu semacam pernyataan rakyat bahwa mereka mendukung pasangan ini dan siap membantu dengan segenap jiwa, raga, dan harta yang dipunya. Diberikan dengan ketulusan. Disertai doa dan impian akan datangnya kemenangan.
Uniknya lagi sumbangan uang kampanye itu tidak hanya diberikan oleh rakyat pribumi. Bahkan golongan minoritas tionghoa pun melakukannya. Bahkan dengan terang-terangan. Terbuka. Bukankah ini juga keanehan, kalau tak boleh disebut anomali.
Orang-orang Tionghoa itu semenjak dulu kulturnya yaitu berada di belakang layar. Kalau menyumbang dana ke pasangan capres pun dilakukan diam-diam. Ibarat kata, tangan kirinya pun tidak tahu ia menyumbang berapa. Mereka bukan pemilik kultur yang demonstratif untuk urusan dukung mendukung dan sumbang menyumbang dana dalam urusan politik.
Jadi, fenomena kelompok Tionghoa yang sudah berani mempublikasikan dukungannya dan sumbangannya secara terbuka itu yaitu semacam arus balik kesadaran juga. Di kalangan massa pribumi terjadi, di kalangan kelompok nonpri juga terjadi.
Anomali berikutnya yaitu soal pers. Pasangan Prabowo Sandi ini sudah diketahui oleh publik sedang "dimusuhi" oleh media mainstraim. Apa yang mereka lakukan dianggap bukan kegiatan yang media darling. Tidak layak diberitakan. Kalau toh diberitakan ya paling dicari sisi yang negatif, yang diframing seperti untuk menjatuhkan kredibilatasnya.
Itu dari sisi konten. Kalau dari makronya, dapat jadi sebab media-media mainstraim memang sudah dijinakkan oleh rezim. Supaya tidak memberitakan aktivitas jadwal politik pasangan nomor 02 ini. Tafsir yang sangat masuk akal kalau itu mengemuka.
Namun, justru sebab media-media mainstream itu telah melaksanakan diskriminasi, muncul semacam perlawanan dari rakyat, dari arus bawah. Berita-berita underground dari sosmed seakan tak terbendung, memberitakan kegiatan kampanye Prabowo Sandi yang meriah oleh sambutan masyarakat dari hari ke hari. Kalau ada adagium lama, ketika politik dibungkam maka sastra yang bicara. Kini yang bicara itu sudah beralih ke sosmed. Dan melihat trendnya sepertinya akan terus menjadi arus yang makin besar ke depannya nanti.
Anomali berikutnya yaitu mulai ada semacam ketidakpercayaan rakyat terhadap berita-berita negatif perihal Prabowo yang disiarkan secara masif lewat media-media mainstream. Rakyat seolah punya kecerdasan dan kesimpulan sendiri sesudah melihat apa yang senyatanya terjadi.
Setiap ada serangan terhadap Prabowo yang dicap sebagai penculik dan pelanggar HAM, seketika counter attack berjalan dengan sendirinya oleh arus bawah. Perlawanan opini tidak lagi dilakukan oleh tim kampanye resmi. Rakyatlah yang melawan dengan caranya sendiri.
Ketika melihat pribadi bahwa semua pencetus yang pernah diamankan Prabowo masih hidup bahkan kemudian mereka dikasih posisi-posisi penting di Partai Gerindra (ada juga yang menjadi pengurus teras si Partai Demokrat) masyarakat kemudian mengambil kesimpulan sendiri. Bahwa apa yang selama ini mereka dengar perihal Prabowo itu ternyata salah. Tidak ada yang memaksakan opini itu. Semua terjadi begitu natural. Di titik ini secara otomatis tingkat kepercayaan dan sumbangan pada Prabowo akan semakin menggelembung.
Bagaimana dengan Sandi?
Sama saja. Kehadirannya sangat dirindukan kalangan emak-emak dan kalangan milineal. Di setiap kota yang disinggahinya yang menyambutnya juga membludak.

Sandi yang merepresentasikan anakmuda itu seolah menjadi idola baru. Sosok yang hebat, kaya, genius, atletis, dan membumi. Di mata ibu-ibu yang begini tentulah citra yang perfek, yang layak jadi role model bagi anak-anaknya.
Cara Sandi melaksanakan pendekatan ke kalangan muda milineal juga terbilang genial. Sandi yang cumlaude, lulusan barat, dari kalangan high class, orang kota, ternyata dengan huruf humble-nya dapat pribadi membaur dengan anak-anakmuda gaul. Lewat model kampanye main basket bersama, lari pagi bersama, diskusi di kafe rame-rame, senam bareng, mendatangi pelatihan-pelatihan kewirausahaan untuk pemula, ternyata kehadirannya diterima dengan hangat. Sandi masuk dan berbaur seakan tanpa gap. Sebagai anak muda yang sama-sama alay. Nggak pake jaim. Segmen ini tentu tidak dapat diambil Prabowo, dan Sandi dengan sangat baik melaksanakan sapu higienis di segmen milenial.
Bukan cuma di kalangan anakmuda gaul saja Sandi dapat diterima. Bahkan di kalangan pesantren pun dapat masuk. Santri-santri muda juga begitu hangat menyambutnya. Meskipun gotong royong ini bukan hal yang mengherankan. Sebab, Sandi memang bukan sosok yang asing bagi warga muda pesantren. Sudah semenjak tahun 2015, ia sudah dikenal kalangan pesantren sebab sering blusukan memperlihatkan wawasan kewirausahaan kepada para santri. Apalagi ketika sering diundang oleh HIPSI (Himpunan Pengusaha Santri Indonesia) semenjak tiga empat tahun silam. Jadi, kalau kini anakmuda pesantren tidak melaksanakan resistensi atas kehadirannya, itu sangat dapat dimaklumi. Karena Sandi sudah menyerupai keluarga di kalangan mereka.
Jadi, kalau melihat fenomena banyaknya arus balik kesadaran dan anomali-anomali yang terjadi itu, rasanya kok gejala kemenangan pasangan ini semakin dekat, semakin jelas benderang. Ada atau tidak ada mesin partai yang berjalan.
Mesin partainya bukan lagi pengurus partai, mesin partai yang bergerak ternyata sudah diambil alih oleh rakyat. Dan sudah menjadi kelaziman, kalau rakyat sudah bergerak sendiri, atas kesadarannya sendiri, tak akan ada kekuatan apapun yang dapat mengalahkan. Ya, rakyat bergerak, tak dapat dikalahkan. Semestalah yang berpihak!!!!
Maka kalau ada semacam kepanikan tim lawan itu juga wajar. Gerakan rakyat yang masif dan berdikari begini tentu memunculkan kekuatiran, bahkan dapat jadi menimbulkan tubuh jadi panas dingin. Akibatnya, fokus mereka jadi kacau. Salah satu indikasinya, ketika tidak dapat melaksanakan hal yang sama, strategi yang dijalankan kemudian yaitu menyerang ranah-ranah privat. Yang tes jadi imam salatlah, yang langgar baca Quranlah, yang punya isteri apa nggaklah, yang ditanyakan prestasi apalah, dan sebagainya. Yang semua itu gotong royong jauh dari substantif. Ini mau langgar Pilpres, bukan mau lomba MTQ kan? Acuannya kok jauh dari hukum konstitusi!
Selamat tahun baru!
Selamat menyambut impian baru.
Sukses Bahagia untuk Semua!

Yogyakarta, 1 Januari 2019. Sebuah catatan singkat!

Sumber https://www.samsulasia.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel